Monday, August 30, 2010

Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI)

Pembicaraan yg lagi hangat di akhir tahun 2010 ini bagi sebagian besar dokter muda Indonesia adalah mengenai UKDI, ujian yg diadakan oleh Konsil Kedokteran di Indonesia dalam rangka menyeleksi lulusan dokter dari universitas-universitas baik negeri maupun swasta yang ada di seluruh Indonesia.

Apa yg berbeda dari UKDI di akhir tahun ini dibandingkan dengan UKDI di tahun-tahun lalu?? Yaa.. Mulai akhir tahun ini penyelenggaraan UKDI diubah, yg awalnya diadakan setelah sumpah (bai'at) dokter, kini diadakan sebelum sumpah dokter dan secara tidak langsung kelulusan UKDI menjadi syarat mutlak bagi seorang dokter muda yang bergelar Sarjana Kedokteran di belakang namanya untuk bisa meraih gelar Dokter di depan namanya. Hal ini menjadi masalah, manakala banyak dokter muda yang telah selesai melaksanakan Co-Ass harus menganggur dan menumpuk karena menunggu UKDI yang hanya di adakan 3-4 bulan sekali dalam satu tahun itu. Banyak yang menginginkan penyelenggaraan UKDI kembali ke awal, yakni setelah dokter muda menyelesaikan Co-Assnya dan di sumpah dokter, namun di sisi lain praktisi kedokteran berpendapat bahwa perubahan penyelenggaraan UKDI sebelum sumpah dokter dimaksudkan untuk lebih menyeleksi dokter-dokter di Indonesia agar ketika di sumpah telah memenuhi standar kompetensi yang dianjurkan sehingga dapat mengurangi bahkan mencegah terjadinya malpraktek medis yang dilakukan oleh profesi kedokteran.

Sekali lagi tidak ada yang dapat menyalahkan UKDI, menurut saya UKDI memang memiliki manfaat dalam mencetak dokter-dokter yang berstandar kompetensi baik, dan kalaupun seorang dokter tidak lulus UKDI, ia dapat mengulang untuk ikut UKDI hingga dinyatakan lulus, tak seperti di luar negeri yang membatasi dokter hanya boleh mengikuti ujian kompetensi sebanyak 3 kali, jika tetap tidak lulus maka ia dinyatakan gagal.

Ada beberapa pihak juga yang bahkan menolak UKDI mentah-mentah, mereka menganggap UKDI hanya mempersulit dalam mencetak dokter-dokter di Indonesia. Seperti telah diketahui bahwa Indonesia sangat kekurangan dokter terutama di daerah terpencil atau pedalaman. Banyak yang menganggp bahwa jelas tak bisa disamakan antara fakultas kedokteran di kota besar dengan di kota kecil hanya dari ujian kompetensi, jika terus dipaksakan maka akan semakin sedikit lulusan dokter di kota kecil yang dapat mengabdi bagi tanah kelahirannya itu. Bagaimana bisa pemerintah meningkatkan mutu kesehatan sedangkan kita kekurangan dokter?? Banyak yang mengkaitkan masalah ini dengan malpraktek medis, ada pendapat yang mengatakan "UKDI dilakukan untuk mencegah dokter melakukan mapraktek!" Buat saya pendapat itu tak salah, tapi saya katakan UKDI tak akan pernah menjamin seorang dokter terhindar dar malpraktek medis.

Bicara mengenai malpraktek medis, menurut saya hal ini terkait dengan beberapa aspek :
1. Istilah malpraktek medis tidak ada dalam kamus Indonesia, ia diambil dari istilah asing sehingga belum ditemukan definisi yang tepat untuk menggambarkan apa itu malpraktek di Indonesia.
2. Malpraktek medis banyak didengungkan karena ketidaktahuan masyarakat, oleh karena itu peran dokter dalam memberikan informasi medis melalui informed consent menjadi sangat penting. Contohnya saja kasus seorang ibu yang terlibat masalah dengan sebuah rumah sakit gara-gara komentarnya di sebuah blog yang berujung hukum dan terkenal hingga seantero negeri. Ia beranggapan dokter UGD di RS tersebut telah melakukan malpraktek akibat salah menghitung jumlah trombositnya. Kasus ini dimata hukum dimenangkan oleh dokter namun dimata masyarakat justru sebaliknya. Apa yang sebenarnya terjadi? Saya pernah mengikuti sebuah seminar di Jakarta bertema malpraktek medis, seorang pembica dalam seminar itu mengatakan saat ibu tersebut datang ke UGD dan kemudian di cek trombosit hasilnya 27.000,dokter UGD merasa tidak yakin dengan hasil laboratorium itu dan berpikiran untuk mengulang hasil lab-nya karena sampel darah yang hanya 2-3 cc dirasa kurang banyak. Pengambilan darah ulang dilakukan berbarengan dengan pemasangan infus, disini masalah timbul. Ibu tersebut mengatakan tidak ada pengambilan darah ulang karena dia pikir hanya di pasangkan selang infus, padahal menurut investigasi tim dokter hasil lab kedua menggunakan metode yang mengharuskan adanya sampel darah lebih dari 5 cc, jadi tidak mungkin ada hasil lab kedua jika tidak ada sampel darah, jadi pasti telah ada pengambilan darah kedua, dan dokter tersebut tidak melakukan malpraktek medis. Kalaupun dikataan dokter tersebut salah karena tidak informed consent, dalam hal ini dokter berhak melakukan tindakan medis darurat tanpa persetujuan pasien demi live saving..
3. Banyak yang mengeluhkan pelayanan puskesmas atau RS sangat kurang ramah dan cepat. Bayangkan saja seorang dokter puskesmas harus melayani ribuat pasiennya, apakah dapat disamakan dengan dokter-dokter di luar negeri yang jumlah dokternya seimbang dengan jumlah penduduk??
4. Pelayanan kurang bagi masyarakat miskin. Percayalah, dokter pun tidak jarang merogoh koceknya sendiri demi membantu pasiennya meski pasien tersebut tidak mengetahuinya. Kami tak memungkiri bahwa kami pun manusia biasa yang memiliki kehidupan dan butuh penghasilan tapi kami tidak seburuk itu dalam memperlakukan masyarakat miskin. Saya pernah membaca sebuah blog milik seorang dokter di daerah terpencil yang mengatakan sistem pengobatan ASKES pun jg dirasa masih kurang, tidak jarang RS harus "menombok" miliyaran rupiah karena dana ASKES tak kunjung di bayar oleh pemerintah sedangkan masyarakat miskin tetap harus mendapatkan pelayanan medis. Namun lagi-lagi masyarakat menyalahkan dokter dan RS karena ketidaktahuannya itu..
4. Dalam bekerja, dokter dibantu oleh banyak orang. Saat ada kasus seorang dokter bedah salah memberikan oksigen dengan karbon monoksida dan dikatakan malpraktek jelas tidak adik. Karena yang memasukkan gas ke dalam tabung adalah tugas dari petugas tabung gas bukan dokter, dokter hanya menggunakan fasilitas bagi pekerjaannya..

Sekali lagi UKDI tak menjamin seorng dokter bebas dari malpraktek medis, karena malpraktek itu sendiri terkait akan banyak hal, dan sudah sepatutnya dokter tidak dipersulit dalam bertugas.